
“Hallo…sudah bangun mbak Sarah?” suara mbak Ranti dari
pengeras suara telpon rumah Sarah. “Eh,
sedang berendam mbak Ranti” Jawab Sarah. “Aduh senangnya yang sedang berendam
di bathtub. Musim panas begini memang
asyik berendam ya mbak.” ujar Ranti. “Ha-ha iseng aja kok mbak biar rileks saja.”
“Kenapa tidak pernah ke kolam renang lagi?” “Sibuk mbak, waktunya yang tidak
memungkinkan saya ke kolam renang” “Ya sudah, selamat berendam. Nanti saya
kabari kalau saya sudah di rumah Viona ya.” Sambil menikmati aroma terapi dari air
rendaman dan lilin-lilin yang dibakar. Mendengarkan alunan musik membuat Sarah betul-betul
menikmati rileksasi di kamar mandi pribadinya. Setelah 48 jam jaga malam membuat
raga Sarah betul-betul lelah dan penat.
Sebenarnya Sarah enggan untuk datang ke acara tasyakuran bayi
yang sudah berusia bulanan itu. Sarah berkeyakinan kalau syukuran anak yang
dianjurkan dalam Islam hanyalah akikah yang diadakan pada hari ketujuh, minggu
kedua atau pada minggu ketiga sambil mengumumkan nama bayi. Dimana
orangtua bayi perempuan disunnahkan untuk menyembeli satu ekor kambing, dan
bayi laki-laki dua ekor kambing. Paling tidak sebelum anak baligh sudah
diakikahi.
Dengan pertimbangan bersilaturahmi, Sarah pun berencana untuk
hadir diundangan tasyakuran tersebut bersama teman-temannya. Air rendaman aroma
terapi membuatnya nyaman hingga ia tertidur di bathtub. Deringan telpon Ranti membangunkannya, “Alooo” “Sudah
berendamnya?” “Astaghfirullah, saya ketiduran di bathtub mbak hehehe..” “Dasar. Ayo cepetan kita tunggu. Sudah mau
jalan nech.” “Iya tunggu dulu. Nggak
mungkin kan saya ke Aula dengan bathrub
saja?” Setelah membilas bersih dan mengeringkan tubuhnya. Sarah memulas
wajahnya dengan make-up tipis dan
mengenakan baju muslim batik yang potongannya sederhana. Sarah pun melajukan
mobilnya ke rumah Viona dimana Ranti menunggunya. Rupanya anak-anak Viona lebih
memilih untuk berkendaraan dengan Sarah. Viona dan pembantunya disupiri oleh
suaminya. Merekapun beriringan ke Aula yang jaraknya hanya beberapa meter saja
dari rumah Viona.
Sarah memilih duduk semeja dengan anak-anak kawan
sepekerjaannya. Ternyata Ratih dan Dila, para ibu dari anak-anak ini masih bertugas
di rawat jalan. Anak-anak yang lucu-lucu dan menggemaskan ini hanya ditemani
para pengasuhnya saja. Menu yang disajikan cukup banyak macamnya dan cocok
dilidah anak-anak. Melihat mereka menikmati sate dan jajanan pasar lainnya yang
jarang di temukan sangat menggemaskan, membuat Sarah teringat dengan anak-anak
angkat dan keponakan-keponakannya. Hingga tak terasa air mata mengalir dari
balik kacamata minusnya. “Tante Sarah kok nangis?” celetuk Viola anak sulung
Viona. “Tante tidak menangis sayang.” “Itu air mata tante membasahi pipi
tante.” “Tante kepedasan makan rujak sayang.” Sarah berusaha menutupi
kerinduannya pada anak-anak yang ia cintai. “Rujaknya nggak pedes kok Tante.”
“Wah Viola hebat. Tante nggak kuat pedas sayang.” “InsyaAllah tahun depan
tasyakurannya bayinya mbak Sarah. Ya?” celetuk Ranti yang di amini oleh
lainnya.
“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan
(pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, merekalah itu yang
memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka
kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam jannah).”
Terdengar kutipan surat Saba’ ayat 34-37 dari tausiah yang disampaikan oleh
seorang ustad di acara tersebut.
Andai saja pembawa acara tidak memberi aturan yang aneh-aneh
dalam pengambilan gambar acara ini pasti dapat kami nikmati tanpa beban.
Sungguh sangat tidak bijaksana, ketika mereka meminta ayah dari bayi Fenti
meminta kehadiran ayahnya yang sedang tugas dan tidak boleh diwalikan oleh
orang lain. Wali nikah saja masih diijinkan untuk diwakilkan pada wali hakim,
ini hanya untuk pengambilan gambar foto kenang-kenangan dipermasalahkan. Kini,
Sarah mengerti kalau suami Fenti yang berkebangsaan lain tidak bisa bersatu
dengan komunitas ini. Mereka memang keterlaluan, syukurlah bapak-bapak yang
lebih terbuka dan dewasa pola pikirnya mampu mencairkan suasana.
Anak-anak kampung Sentosa yang biasanya hanya melihat kakak
atau adiknya saja didalam rumahnya masing-masing. Diacara silaturahmi itu mereka
seperti menemukan dunianya. Anak-anak itu bermain bersama teman sebaya. Mereka
bermain, bernyanyi dan menari tanpa memperdulikan bapak-bapak pembicara di
panggung. “Mbak aku mau pulang dulu ya,”
pamit Sarah pada Viona dan Ranti. “Saya juga mau pulang,” kata Viona. Ternyata
suami Viona sudah pulang duluan, dia kesana hanya mengantarkan Viona dan
pembantu rumah tangganya saja.
“Para hadirin sekalian harta dan anak-anak adalah
perhiasaan kehidupan dalam surat Kahfi ayat 46. Demikian juga di surat
At-Taghaabun ayat 15 tertulis bahwa harta dan anak-anak juga cobaan.” lagi pak
Soleh sang ustad yang memberikan tausiah mengutip ayat-ayat dari kitab suci. Allah
Maha mengetahui segala yang tersimpan didalam hati. Tidak tahan dengan tatapan
dan bisik-bisik para ibu yang sedari dari memperhatikan tingkah laku Sarah. Dengan alasan shalat duhur Sarah pamit
dan pergi meninggalkan acara tersebut. Setelah mengantar pulang Viona dan
keluarganya Sarah pulang kerumahnya. Diusianya yang matang dan mapan, Sarah
memang belum dipertemukan dengan Imamnya. Bukan tidak ada keinginan untuk
berumah tangga, apalagi melihat tawa riang anak-anak yang ceria. Batita-balita
yang lucu dan menggemaskan.