Mawar Melati Umi

Jalanan basah oleh hujan yang turun sejak tadi sore. Hujan yang turun berkabut debu dimusim panas tidak sedikitpun memberikan kesejukan selain bertambah tebalnya debu-debu yang menempel dikendaraan, jalan dan pohon. Mawar enggan untuk keluar rumah, hujan badai pasir dengan udaranya yang panas membuatnya berdiam diri dirumah saja setelah seharian penuh berkutat dengan pekerjaannya. Umi yang sudah beberapa hari tinggal bersamanya diapartemen sudah ribut minta pulang alasannya rindu dengan cucu. Mawar yang belum menikah tinggal di rumah yang cukup besar membuat umi kesepian. Tidak seperti dikampung halaman yang dengan mudah singgah kerumah tetangga. Diperkampungan Arab ini hidup sendiri-sendiri. Pernah sekali umi hadir dipengajian ibu-ibu komplek ini. Entahlah hanya sekali, itupun ditemani Mawar. Setelah itu, umi selalu menolak untuk menghadiri pengajian tersebut. Padahal ditanah air, umi tidak pernah ketinggalan dengan kegiatan keagamaan dan sosialisasinya. Umi yang biasa sibuk diwarung demi mengisi waktunya mulai jenuh dengan hanya menonton tayangan telivisi berbahasa Indonesia.

Setelah mandi Mawar duduk disofa menemani uminya. “Mawar, apa tidak sebaiknya rumahmu di Indonesia, ditempati oleh Melati saja dari pada kosong tidak ada yang menempati. Dikontrakkan juga sayang sudah banyak barang-barangmu.” Kata Umi membuka pembicaraannya dengan Mawar. “Umi, Mawar mengerti kami adalah anak-anak umi. Umi sayang Mawar, Melati dan Elang. Masalahnya mi…Melati itu sudah punya suami. Biarlah suaminya yang bertanggung jawab pada Melati dan keluarganya. Suami Melati yang bertanggung jawab memberikan tempat tinggal, bukan tanggung jawab Umi maupun saya lagi.” tutur Mawar pada uminya. “Nak, sedekah tidak akan memiskinkan hambaNya nak. Janganlah kikir. Apalagi terhadap saudara kandungmu sendiri. Melati itu adikmu Mawar,” nasehat Umi.“Betul mi. Oh ya Mi. Bukannya Melati itu sudah punya rumah sendiri?” tanya Mawar. “Dia tidak betah tinggal disana. Katanya mau dijual. Entahlah dari dulu mau dijual tapi tidak laku-laku.” Lanjut Umi sambil meminum teh poci racikannya. “Mungkin harganya tidak sesuai dengan kondisi rumahnya mi?” ujar Mawar sambil membolak-balikkan majalah.“Dulu sudah ada calon pembeli tapi tidak jadi. Mawar, ini umi tadi buat pisang molen kesukaanmu. Ayo dicicipi masih panas.” Kata Umi menawarkan pisang molen buatannya.

Tidak ingin mengecewakan uminya, program diet yang Mawar lakukan untuk sementara dilanggarnya dengan memakan pisang molen goreng buatan umi tercinta. “Enak mi. Mi, tidak tanya dulu sewaktu membeli uang itu pakai uang dari mana?” tanya Mawar. “Menurut Melati uang jerih payah suaminya.” Jawab uminya sambil mengingat-ngingat peristiwa belasan tahun lalu. “Tidak Mi, itu uang pemberian almarhum Abi. Umi ingat waktu rumah kita di Jakarta terkena musibah kebanjiran?” kenang Mawar. “Iya rumah itu kan kamu yang merenovasinya Mawar.” kata Umi sambil mengingat-ngingat. “Sebelum rumah itu direnovasi. Umi cukup mendapatkan pemasukan dari kamar-kamar yang di kos kan dirumah itu. Tetapi setelah rumah itu di renovasi dan ditempati Melati dan suaminya yang waktu itu baru menikah pemasukan Umi satu-satunya hanyalah warung yang baru dibangun yang belum banyak pelanggannya. Abimu kan sudah tidak bekerja. Syukurlah biaya sekolah Elang kamu yang membiayainya.” Lanjut umi. “Tapi kan rumah itu sudah dijual mi. Mi tahu tidak berapa harga penjualannya?” tanya Mawar. “Iya Abimu jual rumah itu demi menutupi kebutuhan rumah tangga. Abi kan mulai sakit-sakitan. Hasil penjualan rumah itu juga sudah dibagi-bagikan untuk kalian bertiga. Dan bagianmu, kamu sendiri yang bilang guna biaya pendidikan Elang.” Papar Umi. “Itu lah mi uang dari Abi yang diberikan ke Melati, dipergunakannya untuk membeli rumah yang akan mereka jual sekarang.” Kata Mawar. “Ah. Tidak. Umi sudah tanya ke Melati, dia bilang rumah itu hasil jerih payah suaminya. Dia memang bilang sempat meminjam uang pada mendiang Abi tapi sudah dikembalikan Mawar.” Ujar umi. “Astagfirullah al adziem. Dia bilang seperti itu Mi? Kasihan Abi, mi. Beliau yang begitu sayang pada anak-anaknya. Berusaha untuk bersikap seadil-adilnya bagi anak-anaknya justru tidak dihargai oleh Melati. Rumah itu tidak akan pernah laku terjual Mi sampai dia jujur pada umi kalau uang pembelian tanah rumah Melati itu adalah warisan dari Abi. Saya tidak ingin apa-apa Mi. Alhamdulillah saya hidup berkecukupan. Oh ya Mi. Bagaimana kabar tempat belajar anak-anak?” Tanya Mawar teringat tempat bimbingan belajar yang dikelola oleh Melati.“Tutup. Gara-gara kamu tidak memberikan ijin Melati untuk tinggal disana.” Kata Umi.“Mi. Mawar tidak memberikan ijin Melati tinggal disana karena suaminya ingin rumah itu balik nama atas namanya. Dia bersedia membayar cicilan perbulannya tanpa mau mengembalikan uang renovasi dan uang muka rumah atas kredit rumah itu mi. Makanya saya tidak setuju Melati tinggal disana.” Kata Mawar. Mawar teringat setelah kejadian itu, Uminya sempat jatuh sakit.“Umi jatuh sakit tidak kuat melihat suami Melati yang hanya makan tidur dirumah. Sementara Melati tidak memberikan uang dapur pada Umi. Untuk makan Umi dan Elang tidak seberapa tapi Melati dan keluarganya? Bukannya umi pelit. Alhamdulillah umi sudah cukup dari kamu Mawar. Maksud umi mandiri lah bukan menangnya sendiri seperti itu.” Kata Umi yang sepertinya membaca isi hati Mawar.  “Sekarang umi disini. Apa Melati masih tinggal dirumah umi?” tanya Mawar. “Tidak, mereka mengontrak dekat rumah kita. Itu yang bikin umi kesal. Kenapa mereka tidak merantau ketempat lain. Alhamdulillah tetangga mengerti dan mendukung umi demi kemandirian Melati. Sudah dua tahun rumahnya belum laku juga dan dia tetap mengakui itu adalah hasil jerih payah suaminya. Umi sempat menanyakan rumah yang mau dijual. Umi kasih tunjuk rumah yang akan dijual katanya tidak cocok. Rumahnya jelek. Maksud umi, beli tanahnya saja. Rumahnya nanti dia dan suaminya yang renovasi kalau sudah ada rejeki.  Ada lagi yang jual katanya tidak cocok lokasinya lah. Umi tanya Melati, kamu ada uang tidak? Dia malah menanyakan kebon pisang kita mau dijual atau tidak?. Umi bilang kalau ada rejeki mau dibuat kontrakan. Sejak itu cucu umi tidak pernah main kerumah umi lagi. Umi kangen sama cucu. ” kata Umi sambil menitikkan air mata. 

“Mawar. Kapan kamu kembali berumahtangga nak? Umi ingin menimang cucu dari mu Mawar.” Tanya Umi dengan mata berkaca-kaca. “Mohon do’anya saja mi.” jawab Mawar singkat. “Tanpa kamu meminta umi sudah mendo’akanmu nak. Oh ya Mawar. Besok kamu kerja lagi nak?” tanya Umi yang tiduran di sofa. Mawar memijiti kaki Uminya. “Kenapa umi bosan ya dirumah terus? Aku libur mi. InsyaAllah besok kita ke kota ya.” Jawab Mawar. “Tidak ah nak, panas sekali pastinya. Umi ingin pulang, kangen Indonesia. Bukan umi tidak suka tinggal bersamamu tapi umi biasa sibuk di warung. Boleh tidak ngewarung disini?” tanya Umi. “Ngurus ijinnya yang ribet Mi.” Jawab Mawar sambil geleng-geleng kepala dengan ide Uminya untuk membuka warung kelontong di komplek perumahan yang didiaminya kini. “Aduh mesti ijin segala ya?” tanya Umi yang sepertinya nyaman dengan pijatan Mawar “ Ya iya Mi. Kalau ijinnya jualan parfum ya jual parfum tidak boleh jualan lainnya. Ada badan pemerintah yang akan mengecek toko kita setiap saat.” kata Mawar menjelaskan. “Alhamdulillah kita orang Indonesia bebas buka usaha di Indonesia ya Mawar.” ujar Uminya yang mulai mengantuk. “Tempat parkir saja buat jualan Mi. Makanya macet dimana-mana. Pelebaran jalan ada, sudah dilebarkan malah untuk parkir liar. Ya gimana mau lancar lalu lintasnya.” Keluh Mawar. “Eh. Iya itu kemarin mobilmu dapat surat tilang ya? Gara-gara parkir sembarangan.” “Tidak apa-apa Mi. Pelajaran untuk berdisiplin lalu lintas. Mi tidur dikamar saja yuk. Biar tidak sakit punggungnya.” Ujar Mawar sambil membimbing uminya kekamar tidur dan melanjutkan memijat Uminya hingga tertidur pulas.
HTML Guestbook is loading comments...

Blog Archive

Koleksi Kisah Fiksi Karya ROSE