Bunga-bunga kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinesis L.) dengan
warnanya yang merah menyala bermekaran menghiasi perkarangan rumah bernomer F-555.
Rumah dua lantai berbentuk kubus tersebut, perkarangannya dipenuhi tanaman hias
dalam pot-pot besar. Lathifa, mojang dari tanah pasundan dibesarkan dari
keluarga petani di Indonesia memanfaatkan perkarangan yang ada dengan berkebun
dalam pot. Dipot-pot tersebut ia dan kawan-kawannya menanam tomat, cabai,
serai, lengkuas, kunyit dan kangkung. Juga terdapat berbagai bunga dan tanaman
rambat lainnya. Lathifa tengah asyik menyirami tanamannya.
Deru mobil Toyota Yaris memasuki
halaman rumah F-555, parkir diantara mobil Nissan Mureno milik Lathifa dan
mobil Honda City milik Magda. Rupanya Sheela, perempuan dari Filipina itu sudah
pulang kerja, “Good Evening” sapanya pada
Lathifa dengan wajah lesu. “Good evening
too. Hai ada apa wajahmu seperti itu?.” tanya Lathifa pada Sheela. “I am so tired today.” hanya itu saja
jawaban Sheela sambil berlalu meninggalkan Lathifa yang asyik menyirami tanaman
hiasnya.
Diruang tamu Sheela bertemu Magda
perempuan dari negeri Piramid yang tengah duduk bersantai menonton TV sambil menikmati minuman dingin
berwarna merah. “Haus sekali aku.” Kata Sheela yang lalu duduk disofa disebelah
temannya tersebut. Magda memberikan segelas yang tersedia. “Kok ada empat
gelas?” tanya Sheela. “I am here !” sahut Munira, gadis Tunisia
yang berdiri di dapur, di belakang Sheela. “Ahh…kapan datang Mun?” mereka
saling berpelukan. “Tadi siang, aku dijemput Lathifa dan Magda di bandara Abu
Dhabi.” “Wah maaf ya aku tidak bisa ikut menjemputmu. Pantas si hitam KIA mu tidak
ada di garasi.” ujar Sheela “Di Bengkel. Baterainya sudah kada luarsa. Tadi
kami dari bengkel, katanya besok siang baru selesai.” “Kok hanya ganti baterai saja sampai nginap segala?” “Stok
baterainya yang tidak ada harus diambil dari Abu Dhabi.” “Bagaimana jadi kau
menikah?” “Aduh! Nona ini mandi dulu sana. Tadi katanya penat. Istirahat dulu
nanti kita ngobrol-ngobrol lagi ya. Munira juga masih lelah tuh” potong Magda.
Selesai menyirami dan memetik
beberapa kuntum kembang sepatu Lathifa turut bergabung menikmati minuman yang
terhidang. “Ini minuman apa seh? Kok rasanya asam manis dan segar seperti ini.”
tanya Sheela. “Ini hasil halaman depan kita. Teh Kembang Sepatu” jawab Lathifa.
“Diluted Hibiscus tea, lemon, sugar and
ice.” Seloroh Munirah. “Pantas aku merasa adem.” kata Sheela. “Itu Karkadie, Sheela” kata Magda. “Setahuku
di Sudan minuman ini untuk acara pesta. Pesta apa ni?” selidik Sheela sambil
melirik Munirah yang baru kembali dari Tunis. Munira memasukkan kedua tangannya
kedalam kantong piyamanya. “Sudah! kita tidak sedang di Sudan. Kita di Ruwais !
Sudah mandi sana!” kata Magda. “Baiklah. Lat - Mun - Magda aku mandi dulu ya nanti
gabung dengan kalian lagi” kata Sheela.
Selesai shalat Isya berjamaah Lathifa,
Munirah dan Magda menyobek helai demi helai mahkota kembang sepatu yang mereka
petik tadi siang untuk dimasukkan ke oven guna dijadikan teh. “Lathifa kembang
sepatu ini tumbuh subur ya di suhu 400 seperti sekarang ini…” kata Munira
“Iya Mun. Banyak loh khasiatnya.” Ujar Lathifa “Kamu kok rajin sekali, kita kan
bisa membeli yang sudah jadi.” seloroh Magda. “Sayang kalau tidak dimanfaatkan.”
Jawab Lathifa.
Terdengar langkah kaki Sheela yang
baru bangun tidur. “Kalian tidak membangunkan aku shalat magrib.” “Aku pikir
kamu sedang berhalangan. Kamu kan tidak minta dibangunkan tadi.” Sahut Magda. “Eh
ini ada kripik apa? Itu daun kembang sepatu di buat kripik oleh Lathifa.” Ujar
Munirah. “Aduh orang Indonesia satu ini rajin sekali. Calon ibu rumah tangga
sejati.” goda Sheela “Terima kasih pujiannya” jawab Lathifa. “Kamu sudah
shalat?” tanya Magda “Sudah tadi sebelum turun aku shalat magrib dan Isya.
Kalian?” “Alhamdulillah baru saja kami bubar berjamaah.” Jawab Munirah “Eh ya. Mun gimana kabarnya? Rencananya
pulang kemarin kamu berencana menikah kan?” Tanya Sheela “Batal..” jawab
Munirah ringan. “Kenapa? Maaf…”ujar Sheela. “Tidak apa-apa. Ternyata aku akan
dijadikan istri ketiga.” “Loh? Bukankah budayamu seperti itu?” “Iya, masalahnya
suamiku itu tidak memberi ku ijin untuk kembali ke Abu Dhabi bekerja dan aku
harus hidup berbagi satu atap dengan madu-maduku. Sementara calon suamiku
sendiri seorang pengusaha yang jarang ada dirumah. Aku tidak siap untuk menjadi
istrinya.” cerita Munirah. “Orang tuamu bagaimana Mun?” tanya Lathifa.
“Alhamdulillah orangtua dan kakak-kakakku menyerahkan semua keputusan padaku.
Jadi tidak ada masalah berarti dengan gagalnya pernikahan ini.” tutur Munirah. “Kalau
bisa jangan deh hidup dimadu. Memang
agama kita membolehkannya. Sejujurnya, waktu aku menikah dengan suami Emiratku.
Sebelum kami menikah, aku sudah tahu kalau aku akan dimadu. Aku silau dengan
hartanya. Kami menikah dengan pesta kebun di hotel. Setelah menikah dan
dikaruniai seorang puteri, dia jarang menemuiku. Sebagai tentara, tugas suamiku
berpindah-pindah. Akhirnya ketahuan juga kalau dia menikah lagi untuk yang ke
empat kalinya. Aku berusaha untuk menerimanya. Toh aku telah merebut cintanya dari Shaikha istri pertamanya. Yang
menyakitkanku ketika suamiku menemani ku berbelanja. Ia meninggalkan aku dan
puteriku begitu saja karena anak sulung dari istri pertamanya demam tinggi. Dia
memang meninggalkan kartu kreditnya padaku. Masalah materi kami tidak
kekurangan, tapi aku dan anakku ditinggalkan begitu saja demi anak sulung dari
istri tertuanya itu. Ini yang tidak dapat kuterima. Belum lagi terror dari kedua
istri mudanya yang ternyata sebangsa denganku. Kami sering bertengkar di
telpon. Suamiku yang membayar tagihan telpon, yang imbasnya selama
berbulan-bulan ia tidak menafkahiku baik lahir maupun batin. Kasihan Naula,
anak kami jadi terlantar. Lama-lama aku tidak kuat dan akhirnya meminta cerai.
Alhamdulillah pengadilan agama memenangkan anakku untuk tetap satu paspor
denganku. Hingga kini Naula bersekolah di Mindanau kampung halamanku.” cerita
Sheela.
“Astaghfirullah al adhiem” Magda
beristighfar. “Kenapa Mag?” Tanya Sheela. “Ternyata cerita kita hampir sama. Bedanya
antara aku dan istri-istri suamiku kami tidak ada masalah. Kami menerima peran
dan fungsi masing-masing. Masalah muncul ketika anak-anak kami beranjak dewasa.
Anak-anak tiriku bertengkar meributkan warisan sementara kami istri-istrinya
hidup mandiri menata keluarga masing-masing. Karena hasutan anak-anak tiriku
kami bercerai. Inilah yang membuatku menyekolahkan Najwa untuk pesantren di
Indonesia. Yang memiliki akses di Al Azhar Kairo sewaktu dia kuliah kelak. Aku
ingin dia tumbuh menjadi muslimah yg saliha. Aku jatuh hati dengan akhlak
wanita Indonesia yang mulia dan santun.” kisah Magda.“Kamu Lathifa, kenapa
bercerai sepertinya kamu perempuan yang baik, rajin, penurut dan sabar.” Tanya
Munirah ingin tahu. “Suamiku menceraikanku. Ia ribut besar dengan orangtuaku.” Jawab
Lathifa. “Masalahnya?” Tanya Magda “Ia mempertanyakan penghasilanku selama
bekerja di Emirat ini.” Kata Lathifa sambil berkaca-kaca. “Alhamdulillah kamu
selamat! Suamimu yang seharusnya berkewajiban menafkahimu bukan kamu Lathifa.” kata
Sheela. “Bagus untung kalian bercerai sebelum dikaruniai anak. Allah
menyelamatkanmu.” kata Magda “Sabarlah Lathifa suatu saat akan datang seorang
pria yang bertanggung jawab dan melindungimu.” ujar Munirah. “Aammin. Begitupun
juga kalian Sheela, Magda dan Munirah semoga kita bahagia ya.” Kata Lathifa
yang diamini ketiganya.
“Ternyata kehidupan kita mirip
dengan kisah hidupnya kembang-kembang sepatu ini yang tumbuh liar dan subur, kadang
tumbuh merana di perkuburan tanpa ada
yang memperdulikan. Rimbun diantara semak belukar tanpa ada yang merawat tapi
tetap memberikan keindahan dan manfaat kepada makhluk hidup.” Seloroh Magda. “Aha!
Cleopatra kita ini mulai lagi bermajas
ria. Kita disamakan dengan kembang sepatu..” ujar Sheela. “Artinya kita cantik”
sahut Munirah. “Mandiri dan bermanfaat itu yang membuat kita selalu merasa
bahagia. Bukan begitu?” tutur Lathifa meminta persetujuan teman-teman
serumahnya. “Ya, Good Night aku mau
tidur ke kamarku ya” kata Munirah. “Subhanakallohumma
Wabii Hamdika. Maha suci Engkau ya Allah dan memujimu” kata Sheela. “Asyhadu anlaa ilaaha illa anta. Aku
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Engkau” lanjut Lathifa. “Astaghriiruka wa atuubu ilaik. Aku mohon ampunanMu dan akau
bertaubat padaMu” tutup Magda yang diamini keempatnya. Mereka berempat pun ke kamarnya
masing-masing di lantai dua F – 555.
