K A R M A

Dari teras lantai lima
Kutatap purnama yang menerangi kelamnya mega
Mataku menjelajahi angkasa
Kerlip gemintang mempercantik langit gelap yang membentang
Batang pohon kurma berhias lampu
Berpadu baris dengan tiang-tiang penerangan lampu jalanan
Menerangi malam Ruwais yang dingin
Derai rintik hujan memiris hati yang merindu pada kampung halaman
Yang jauh dari pandangan

~
Zahra Zuhdiah dan Zulfiqar Gulzar Khan, pasangan suami istri kini tak muda lagi. Usia telah melampaui angka 50 tahun, telah banyak merasakan pahit getir kehidupan. Dan, rumah tangga impian Zahra telah dijalani bersama suami dan anaknya Zamzam Gulzar Khan.
Zamzam pun kini telah tumbuh menjadi pria muda dewasa. Kuliah di Abu Dhabi University. Telah beberapa bulan ia bercerita tentang gadis impiannya, Zuriati Bernadette. Teman sekampus, mahasiswi fakultas ekonomi program beasiswa Shaikh Khalifa.
"Ibu, kapan ada waktu," tanya Zamzam. "Bukankah, Ibu dan Ayah ingin mengenal Zuriati?"
"Hari ini, sebelum salat Ashar," sahut Zahra. "Bertemu di mana?"
"Kita bertemu di masjid Sheikh Zayed," sahut Zamzam.
Pertemuan itu berlangsung singkat, karena menjelang salat Ashar. Zuriati dan Zahra ke bilik perempuan. Saat akan berwudu, gadis itu menggulung lengan bajunya. Beberapa saat Zahra termenung menatap lengan kanan gadis calon menantunya.
"Zuriati, anakku. Aku masih mengenali toh1 di lengan kananmu. Tak mungkin Zamzam menikahi kakaknya," bisik Zahra sendiri tanpa banyak berpikir. "Tapi, bagaimana mungkin Zuriati percaya, jika kukatakan aku ibu kandungnya. Ia wanita terpelajar, tak akan percaya hanya dengan sebuah pengakuan tanpa bukti."
Buncahan bahagia berbinar di mata wanita berusia senja itu. Berkenalan dengan anak kandung sendiri sungguh suatu keganjilan. Tapi hidup bukan cerita fiksi, tidak pula sekedar imajinasi penulis, tidaklah sama dengan serial sinetron. Hidup adalah realita perjumpaan derita dan bahagia.

Selesai salat Ashar, di depan masjid Sheikh Zayed semua duduk tenang, suasana hangat penuh kekeluargaan.

"Zuriati, apakah Ibumu mengenalmu?" tanya Zahra.

"Ya, tentu saja." Sahut Zuriati.

"Andai kukatakan, aku ini ibu kandungmu, apakah kamu percaya?" tanya Zahra.

Zuriati tampak berpikir. Lama ia tak memberi jawaban. "Baiklah, akan kuceritakan sebuah kisah tentang itu. Walau cukup panjang, semoga kamu sabar mendengarkannya." Kata Zahra.

"Iya, Bu." Sahut Zuriati.

~

"Zahra Zuhdiah saat itu masih gadis cantik anak karyawan perusahaan tambang batu bara di Kota Sangatta. Jabatan orang tuanya sangat penting di perusahaan tersebut. Ia bisa menentukan seseorang diterima atau tidak sebagai karyawan. Zahra mengetahui posisi ayahnya. Zainuddin Parangin-angin, teman kuliah dan sekaligus kekasihnya sangat beruntung mendapat rekomendasi dari Zahra. Ia diterima bekerja di perusahaan tersebut." kata Zahra.

"Mengapa namanya sama dengan, Ibu?" sela Zuriati.

"Ini memang kisah Ibu," sahut Zahra dan melanjutkan ceritanya. "Sekilas hubungan itu bagai mendapat restu dari orang tua. Rasa cinta telah lama tumbuh subur antara mereka berdua. Dan, memang cinta tak pernah salah dan tak dapat disalahkan, hanya saja kadang tak jelas terlihat batas cinta dan nafsu. Sehingga nafsu dan maksiat dipuja atas nama cinta. Cinta bagai emas murni dua puluh empat karat, namun nafsu menjadikan cinta tak lagi bernilai."

Zahra menarik napas dalam, dan melanjutkan kisahnya. "Saat itu di bulan ganjil pertengahan tahun. Keduanya akan berkunjung ke Barabai, tempat orang tua Zainuddin tinggal. Saat itu Zahara mengatakan sambil berbisik, ‘Bang Zain, aku sudah telat dua bulan.’ Bagai tanpa beban. Namun Zainuddin menyahut, ‘Ara! Gugurkan sayang. Apa nanti kata orang? Kita belum menikah, Ara!’ Sahutan itu bagai tamparan keras diwajahnya sendiri. ‘Tapi, Bang ini buah cinta kita. Darah daging Abang!’ Zahra merajuk sambil menangis."

"Apakah hubungan itu terus berlanjut, Bu?" tanya Zuriati.

"Ya, tapi sangat singkat," sahut Zahra. "Tiba di Barabai, suasana semakin rumit. Zainuddin menceritakan keadaan Zahra pada kedua orang tuanya. Saat itu orang tuanya membisiki Zahra, ‘Sebaiknya kamu gugurkan saja kandunganmu, aku bisa bantu menggugurkannya.’ Tentu saja Zahra menentangnya. Namun di pihak Zainuddin menghadapi ayahnya. Ayahnya dengan lantang mengatakan, ‘Aku tidak setuju kamu menikah dengan wanita murahan seperti itu! Wanita seperti itu tidak bermoral, kelak ia tak akan mampu menjadi istri dan ibu yang baik. Lebih baik tinggalkan dia sekarang!’ Saat itu Zahra kurang pendukung dan kalah diplomasi, akhirnya Zahra kembali ke Sangatta seorang diri. Namun anak dalam kandungannya tak mungkin ia tinggalkan. Permainan babak berikutnya pun dimulai."

"Jadi, Ibu ditinggalkan begitu saja?" tanya Zuriati.

"Ya! Kata pepatah, habis manis sepah dibuang," sahut Zahra. "Ia harus menyembunyikan sesuatu yang tak mungkin disembunyikan. Saat itu, Lamaran Mahfud Syah Bandar diterima. Namun itu tak lain hanya sebuah kebohongan, bagai api dalam sekam akan terus membakar. Zahra menikah dengannya. Namun, rumah tangga itu hanya bertahan tiga bulan. Zahra pun diungsikan ke Jogjakarta, rumah adik ipar ibunya, Rahma Djumillah dan Ramlan Ratmadji. Bayi wanita itu pun lahir sehat. Hanya sedikit kelainan di lengan kanan, sebuah toh hitam kemerahan sebesar uang logam. Bayi mungil itu diberi nama Zuriati Bernadette. Zahra memercayakannya pada mereka. Keduanya bagai kedatangan dewi kayangan, kehadiran anak telah lama dirindukan kini hadir memecah kesunyian hati mereka."

"Nama itu adalah nama orang tua saya, Bu." Kata Zuriati.

"Mungkin hanya kebetulan sama saja," sahut Zahra. "Awal Februari, ia bulat bertekad untuk bekerja di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Wanita di Saudi Arabia. Berpindah-pindah pekerjaan dan majikan telah ia alami. Hingga terakhir diterima pada sebuah perusahaan penerbangan Internasional. Selain pendidikan Sarjana Ekonomi, dukungan wajah cantik dan tubuh tinggi semampai dengan kulit putih bersih mengantarnya menjadi pramugari."

"Bu, jangan membawa-bawa nama saya dalam hal ini ya." Kata Zulfiqar tersenyum.

"Sudah kukatakan ini kisahku. Jika terjadi kesamaan nama dan tempat kejadian itu hanya sebuah kebetulan," Sahut Zahra tersenyum. "Saat itu dalam Qatar Airways. Sebuah insident kecil terjadi. Zahra tanpa sengaja menumpahkan soft drink di pakaian seorang penumpang, Zulfiqar Gulzar Khan. Sebagai permintaan maaf ia memberikan bingkisan. Dari peristiwa itu, komunikasi terus berlanjut."

"Cinta dunia maya, Bu?" kata Zamzam.

"Bolehlah begitu, tapi sedikit mengurangi zinah fisik," sahut Zahra. "Saat itu Zulfiqar, seorang insyinyur bekerja di tambang minyak bumi Ruwais dengan jabatan Manajer Sub Divisi. Hari itu adalah hari kebahagiaannya. Anak pertama seorang laki-laki lahir sehat. Namun seketika itu pula bahagia berubah menjadi duka, karena istrinya meninggal beberapa saat setelah melahirkan. Bayi itu diberi nama Zamzam Gulzar Khan. Komunikasi antara mereka terus berlanjut. Perasaan sama-sama terpuruk itu telah mengisi kekosongan di bilik hati kedua insan. Mereka pun sepakat menikah. ’Behind every great man is a woman. The one who rocks the cradle with her right hand rocks the world with her left. No woman can do all of that unless she is open minded and intelligent, strong of personality and pure of heart. So she is more in need of education, correction and guidance in forming her distinct Islamic personality.’ Itulah bisikannya saat mengenakan kalung emas berlian bertatahkan nama mereka."

"Ah, Ibu. Mengapa membawa-bawa nama saya dalam cerita ini?" kata Zamzam.

"Tidak seru, itu kisah usang!" Sambung Zulfiqar.

"Tapi dengar dulu kelanjutannya," sahut Zahra. "Rumah tangga impian Zahra telah dijalani bersama Zulfiqar dan anak tirinya. Dan, Zamzam kini telah tumbuh menjadi pria muda dewasa. Kuliah di Abu Dhabi University dan bertemu gadis Zuriati Bernadette teman sekampusnya. Mahasiswi fakultas ekonomi program beasiswa Shaikh Khalifa."

"Terus, saat ini si Zamzam mengenalkan anak kandunganya pada ibunya sendiri," kata Zamzam.

"Ya, tepat begitu," sahut Zahra. "Apakah kamu percaya dengan cerita itu, tanpa harus membuktikannya, Zuriati?"

Zuriati tak dapat menahan air mata. Pelukan erat membuat sesak bernapas keduanya. Zahra hanya sesegukan menahan tangis.

"Bu, apa mungkin saya menikah dengan Zamzam?" tanya Zuriati di sela tangisnya. "Bukankah dia adik saya?"

"Cobalah kamu tanya calon ayah mertuamu," sahut Zahra. "Kamu anak Ibu dengan Bang Zain dan Zamzam anak Zulfiqar dengan istrinya."
Sepi bukan sunyi
Derai tawa tak selamanya bahagia
Selalu ada gumpalan awan hitam
Sebelum turunnya hujan yang memberi kesejukan
Gelapnya malam pekat yang dingin
Pasti kan berganti mentari cerah yang memberikan kehangatan
Sinar jingga menyibak pekatnya langit malam
Berganti jingga menyambut matahari terbit
Bergulir halaman kalender tanggal dua puluh dua
Tanggal penuh makna bagi bunda Nusantara
Bunda. Engkaulah poros dunia sebenarnya.
Engkau pusat kebahagiaan penghuni cakrawala
Bunda
Keyakinan bukan apa yang kita lihat, dengar dan alami
Keyakinan adalah menetapkan apa yang ingin kita lihat, dengar dan alami.
Yakin bukan memberlakukan masa lalu,
Melainkan menentukan masa sekarang dan masa depan
Sesuai dengan cita dan cinta yang kita tuju
Selamat Hari ibu, bunda Nusantara!
~
22 Desember 2012, The three blue tankers Ruwais, Emirat Arab

Keterangan:

1 noda hitam atau hitam kemerah-merahan pada kulit (biasanya sudah ada sejak lahir)

HTML Guestbook is loading comments...

Blog Archive

Koleksi Kisah Fiksi Karya ROSE