Hayati


Angin berhembus panas. Daun - daun tanaman hias di teras rumahnya jatuh berguguran. Teras terlihat memutih ditutupi debu. Siti Afnika menutup daun jendela dan kembali menyalakan AC. “MasyaAllah suhu udara diluar 500C.” katanya sambil memperhatikan pengukur suhu diruangannya. Tiba-tiba terdengar rengekan Hayati putri semata wayangnya. “ Mamma...ma..” “Hayati kamu mimisan lagi nak. Suhu badanmu juga panas.” Siti meletakkan punggung telapak tangannya didahi Hayati. 

Sitipun bergegas mengecek suhu badan puterinya tersebut dengan termometer, benar saja ternyata Hayati mengalami demam, suhu tubuh Hayati 400 C. Beruntung Siti masih memiliki stok obat-abatan di kulkas. Sitipun memasukkan paracetamol suppository 300 mg melalui dubur puteri kecilnya tersebut. Dengan meninggikan kepala dan memiringan posisi wajah Hayati, bocah lima tahun itu terus diberi kompres air hangat. Hayati terus-menerus mengigau memanggil-manggil ayahnya, “Ayah.. Ayah Aan…Ayah Aan ..Yayat kangen… Ayah” Siti jadi serba salah tidak mungkin ia menelpon mantan suaminya yang mungkin kini sudah hidup berbahagia dengan wanita lain. Syukurlah darah dari hidung Hayati berhenti menetes. Ternyata darah itu berasal dari kulit ari hidung Hayati yang tertarik, mungkin Hayati terlalu dalam sewaktu mengupil. Berhenti darah dari hidung itu menetes, putrinya mulai muntah-muntah dan buang buang air. Beruntung Siti menyimpan beberapa cairan elektrolit yang masih dapat dipergunakan. Siti memberikan putrinya cairan tersebut sebagai pengganti cairan yang hilang oleh muntah dan buang-buang airnya. Kini  suhu Hayati 36.8 C, Siti pun tertidur kelelahan disamping putrinya.

Deringan telpon, membangunkannya. “Siti kamu dinas pagi hari ini!.” terdengar suara Miranti di ujung telpon sana. “Akhh..” Dengan mata penat dan suara parau ia menjawab elpon itu, “Boleh tidak aku tukar tugas? Suhu tubuh Hayati meninggi semalaman dia mengigau dan muntaber. Aku ingin membawanya ke dokter anak pagi ini. Hayati demam dan muntahber” “Coba kamu telpon Sarama, dia libur kedua hari ini. Mungkin dia bersedia. Aku tunggu ya.” Saran Miranti. “Baiklah.”

Siti Afnika pun menghubungi Sarama, syukurlah wanita yang juga ibu dari dua orang balita tersebut menyetujui untuk menggantikannya bertugas di rumah sakit. “Sudah bareng saja kerumah sakitnya denganku. Aku tukar dengan Meylina dia yang akan mengambil alih tugasmu di bangsal perempuan nanti, dan aku ditugaskan di rawat jalan anak. Jam 8.45 pagi aku jemput ya.” Kata Sarama sebelum menutup telpon. “Terima kasih ya Sarama”. “Sama-sama”.
Mungkin karena sama-sama single parent kami saling pengertian. Bedanya Sarama masih bersuami, suaminya bertugas di Dubai sehingga hanya pada saat libur saja menemuinya.

Siti memeriksakan Hayati pada Dokter Ibrahim, dokter spesialis anak. Karena kurangnya tenaga kesehatan hari itu, Siti diminta jaga malam. Ia pun bertukar jaga dengan Mira kolega nya di bangsal anak agar ia bisa bertugas sambil menjagai puterinya. Beginilah situasi bekerja di rumah sakit Sila, rumah sakit berkapasitas 40 tempat tidur di ujung barat Abu Dhabi. Dengan keberadaan staffnya yang pas-pasan seperti itu, harus ada toleransi dan kerjasama yang tinggi. Mungkin karena kami jauh dari ibukota yang jaraknya kurang lebih 360 km. Kami hidup seperti sebuah keluarga besar. Seminggu ia dan putrinya tinggal di rumah sakit.

“Alhamdulillah badan Hayati sudah tidak panas. Hasil Lab nya juga normal. Juga sudah tidak muntahber. Dan mulai nafsu makan. Sudah boleh dicabut infusannya ya dan boleh pulang.” Kata Dokter Ibrahim. “Terimakasih Dokter Ibrahim.” Kata Siti pada Dokter Ibrahim, dokter anak yang pernah bertugas di Indonesia dan menguasai beberapa kosa kata bahasa Indonesia. “Shuklan Amo Doctel” kata Hayati kepada Dokter Ibrahim. “Afwan binti!” jawab Dokter Ibrahim. Siti benar-benar bersyukur memiliki kawan-kawan yang baik. Kolega menjadi keluarga di saat kita jauh dari orang-orang terdekat. “Hi, Siti apa kabar?” sapa Aminah istri Dokter Ibrahim yang kebetulan juga seorang dokter umum di rumah sakit tersebut, datang kerumah sakit untuk mengimunisasi bayinya.
“Bagaimana Hayati discharge ya hari ini?”. “Iya Dok. Alhamdulillah Hayati sudah sehat. Ayo Hayati kasih salam nak” pinta Siti pada puterinya. “Alhamdulillah I am ok Amy”. “Nanti sore datang ya ke Aula. Ulang tahun Hayati dan anak kami Ameerah kan dihari yang sama. Kita rayakan bersama ya. Tidak usah bawa apa-apa. Kami sudah menyediakan semuanya.” Pesan Dr. Aminah “Aduh terimakasih undangannya dokter Aminah. InsyaAllah kami berdua akan datang nanti sore.” Kata Siti menerima undangan tersebut.

Siti mendandani puteri tunggalnya tersebut untuk hadir diulang tahun Ameerah puteri sulung Dr. Ibrahim dan Dr. Aminah. Hayati yang sudah pulih kesehatannya kembali lincah. Ia tampak menggemaskan dengan gaun merah, rambut berkuncir dua berpita merah dikepalanya.

Syukurlah Siti tidak membuka seluruh kado pemberian kawannya diulang tahun Hayati sebelumnya. Beberapa kado pemberian kawannya, yang bukan dari teman-teman di Sila. Dibungkusnya kembali sebagai hadiah di ulang tahun Ameerah dari Hayati. Terpaksa Siti melakukan itu, karena tempatnya bertugas jauh dari pusat perbelanjaan. Dan tidak enak hati bila harus datang ke sebuah pesta dengan tangan hampa.

Karena asyiknya bergabung dengan pesta anak-anak, Siti tidak mengecek BBM nya. Ternyata mantan suaminya masih ingat akan ulang tahun Hayati. Tapi pesan itu bukan diketik oleh Aan Laksmana, melainkan istri Aan yang mengabari suaminya yang ternyata kini telah bergelar Almarhum. Mantan suaminya meninggal terkena peluru nyasar beberapa hari yang lalu, bertepatan ketika Hayati sakit dan harus di rawat di rumah sakit.

Selamat jalan mantan suamiku, semoga Allah menerima arwah dan segala kebaikan dan memaafkan segala kesalahanmu.  Aku berjanji akan membesarkan dan mendidik Hayati menjadi wanita yang cerdas dan mandiri…Hayati..anakku…





HTML Guestbook is loading comments...

Blog Archive

Koleksi Kisah Fiksi Karya ROSE