Seharian dirumah berkutat dengan TV, Laptop dan Black Berry nya membuat Lanang Perkasa merasa jenuh. Kekecewaannya bukan semakin memudar justru semakin membelenggu hatinya. Ia pun melajukan gerobak besinya ke bukit Tangki.
Tiga tangki air yang bercat biru yang menjadi lambang kota kecil Ruwais menjadi pilihannya untuk menghibur hatinya yang tengah terluka. Setahun sudah Lanang bekerja di kilang minyak yang berada diperbatasan Uni Emirat dan Saudi Arabia ini.
Sesampainya dibukit tangki air, pria ini duduk bersila diatas tanah berpasir sambil menatap awan merenungi nasibnya.
"Awan...andai dirimu disini. Aku pasti menikahimu." katanya pada dirinya pelan sambil menghela napas panjang. Hati Lanang tengah galau. Ibunya mengabari kalau Awan Prihatiningsih, kekasihnya telah menikah dengan pria lain.
"Aku memang hanya seorang buruh migrant Awan, tapi aku bersungguh-sungguh untuk mewujudkan impian kita berkeluarga. Aku berencana memboyongmu kesini setelah kita menikah. Seperti teman-temanku yang sudah berkeluarga lainnya. Awan....tapi kini dirimu sudah menjadi istri pria lain." ujar Lanang rapuh.
Dalam suasana hati yang menyakitkan, merasa dikhianati. Lanang memilih untuk menyendiri menghindari kawan-kawannya. "Assalammu'alaikum!" sapa seorang pria paruh baya berpakaian tradisional "Thawb" lengkap dengan kopiah dan Ghutrahnya. "Wa'alaikum salam." jawab Lanang sambil menyeka air matanya. "Ada apa anak muda?" kata pria yang membawa keranjang itu. Dari keranjangnya, ia mengambil tikar dan menggelarnya disebelah Lanang. Kemudian mempersilahkan Lanang untuk duduk ditikar bersamanya. Lanang hanya mengikuti saran pria tersebut, kini keduanya duduk saling berhadapan. "Tidak apa-apa saya baik-baik saja tuan." ujar Lanang singkat. "Jangan panggil aku tuan. Kamu sendirian?" tanyanya. Lanang hanya mengangguk. "Aku kesini bersama Hamdan, itu anakku. Panggil aku abu Hamdan." katanya sambil memperkenalkan anak lelakinya.

Rupanya pria ini tidak sendirian seorang anak lelaki berusia lima tahun keluar dari mobil. Pria yang disapa abu Hamdan ini meletakkan makanan dan minuman dari keranjang yang dibawanya tersebut. Hamdan menyalaminya dengan ramah. " Ana Hamdan" kata balita itu sambil menyodorkan tangan kanannya untuk bersalaman. "Lanang," kata Lanang menyambut tangan bocah lelaki tersebut. "Amo Lanang tafadhal," kata Hamdan menawari makanan yang disediakan ayahnya. "Terimakasih. Shukran kathir." jawab Lanang. "Ayo, dicicipi ikan tepung dan kentang goreng. Ini buatan istriku, dia perempuan Indonesia pasti rasanya cocok dilidah kita." kata abu Hamdan. Tidak tega menolak tawaran dari orang yang begitu sopan dan ramah Lanang mencicipi cemilan tersebut. Sambil mencicipi beberapa potongan kentang dan ikan goreng tepung mereka bercakap-cakap. Sementara Hamdan asyik dengan iPhonenya, ia sedang menghapalkan beberapa surat Al Ma'tsurat.
"Aku tidak bisa membekali apa-apa untuk puteraku bila ajalku menjemput Lanang. Karenanya kupinta Hamdan untuk mempelajari Al Qur'an sebagai kompasnya dalam mengarungi kehidupan," ujar abu Hamdan penuh rendah hati seakan menjawab tatapan kagum Lanang pada Hamdan. "MasyaAllah. Anak yang soleh." kata Lanang.
" InsyaAllah. Lanang, kau belum menjawab pertanyaanku. Apa yang kau sedihkan Lanang?" tanya abu Hamdan. "Saya baru saja ditinggal menikah oleh kekasih saya abu Hamdan." kata Lanang pilu. "Loh biasanya seorang gadis yang dikhianati pacarnya. Kali ini bujang setampan dan segagah dirimu harus bersedih hanya karena gadis pujaannya menikah dengan pria lain? Sudah ikhlaskan saja dia. Do'akan saja agar dia bahagia. InsyaAllah dengan begitu engkau akan menjadi ikhlas. Buka pintu hatimu untuk wanita lain." nasehat abu Hamdan. "Iya abu Hamdan. Akan saya usahakan untuk ikhlas." janji Lanang pada dirinya dan abu Hamdan. "Allah tahu yang terbaik untuk hambanya. Pilihlah perempuan yang baik untuk anak-anakmu kelak. Kan masih banyak gadis atau janda. Menikahlah jangan takut miskin. Allah sudah berjanji untuk mengayakan kita dengan karunianya lewat pernikahan, " nasehat abu Hamdan. "Iya abu Hamdan. Masalahnya apa gadis dan janda tersebut mau dengan pria miskin seperti saya?" kata Lanang. "Jangan kufur nikmat! Kamu pria sehat. Punya pekerjaan tetap. Kurang apa? Kalau kamu kurang bersyukur hati-hati, azab Allah itu pedih," ujar abu Hamdan. "Ashtaghfirullah al adziem." Lanang memohon ampun kepada Allah yang telah begitu banyak memberikan nikmat kepadanya.
.jpg)
Dewa pijar yang bersinar terang tadi, semakin meredup diselimuti awan senja. Sinar lembayung sore mempercantik mega. Suara adzan dari menara - menara masjid disekeliling bukit berkumandang, menandakan waktu shalat magrib tiba. " Hamdan - Lanang. Mari kita shalat berjamaah. Aku masih punya air wudhu." ajak abu Hamdan. Hamdan menarik tangan Lanang meminta diantar ke tempat berwudhu. Setelah berwudhu abu Hamdan menjadi imam dalam shalat berjamaah mereka diatas bukit tangki tersebut.
Tiga tangki air yang bercat biru yang menjadi lambang kota kecil Ruwais menjadi pilihannya untuk menghibur hatinya yang tengah terluka. Setahun sudah Lanang bekerja di kilang minyak yang berada diperbatasan Uni Emirat dan Saudi Arabia ini.

"Awan...andai dirimu disini. Aku pasti menikahimu." katanya pada dirinya pelan sambil menghela napas panjang. Hati Lanang tengah galau. Ibunya mengabari kalau Awan Prihatiningsih, kekasihnya telah menikah dengan pria lain.
"Aku memang hanya seorang buruh migrant Awan, tapi aku bersungguh-sungguh untuk mewujudkan impian kita berkeluarga. Aku berencana memboyongmu kesini setelah kita menikah. Seperti teman-temanku yang sudah berkeluarga lainnya. Awan....tapi kini dirimu sudah menjadi istri pria lain." ujar Lanang rapuh.
Dalam suasana hati yang menyakitkan, merasa dikhianati. Lanang memilih untuk menyendiri menghindari kawan-kawannya. "Assalammu'alaikum!" sapa seorang pria paruh baya berpakaian tradisional "Thawb" lengkap dengan kopiah dan Ghutrahnya. "Wa'alaikum salam." jawab Lanang sambil menyeka air matanya. "Ada apa anak muda?" kata pria yang membawa keranjang itu. Dari keranjangnya, ia mengambil tikar dan menggelarnya disebelah Lanang. Kemudian mempersilahkan Lanang untuk duduk ditikar bersamanya. Lanang hanya mengikuti saran pria tersebut, kini keduanya duduk saling berhadapan. "Tidak apa-apa saya baik-baik saja tuan." ujar Lanang singkat. "Jangan panggil aku tuan. Kamu sendirian?" tanyanya. Lanang hanya mengangguk. "Aku kesini bersama Hamdan, itu anakku. Panggil aku abu Hamdan." katanya sambil memperkenalkan anak lelakinya.

Rupanya pria ini tidak sendirian seorang anak lelaki berusia lima tahun keluar dari mobil. Pria yang disapa abu Hamdan ini meletakkan makanan dan minuman dari keranjang yang dibawanya tersebut. Hamdan menyalaminya dengan ramah. " Ana Hamdan" kata balita itu sambil menyodorkan tangan kanannya untuk bersalaman. "Lanang," kata Lanang menyambut tangan bocah lelaki tersebut. "Amo Lanang tafadhal," kata Hamdan menawari makanan yang disediakan ayahnya. "Terimakasih. Shukran kathir." jawab Lanang. "Ayo, dicicipi ikan tepung dan kentang goreng. Ini buatan istriku, dia perempuan Indonesia pasti rasanya cocok dilidah kita." kata abu Hamdan. Tidak tega menolak tawaran dari orang yang begitu sopan dan ramah Lanang mencicipi cemilan tersebut. Sambil mencicipi beberapa potongan kentang dan ikan goreng tepung mereka bercakap-cakap. Sementara Hamdan asyik dengan iPhonenya, ia sedang menghapalkan beberapa surat Al Ma'tsurat.
"Aku tidak bisa membekali apa-apa untuk puteraku bila ajalku menjemput Lanang. Karenanya kupinta Hamdan untuk mempelajari Al Qur'an sebagai kompasnya dalam mengarungi kehidupan," ujar abu Hamdan penuh rendah hati seakan menjawab tatapan kagum Lanang pada Hamdan. "MasyaAllah. Anak yang soleh." kata Lanang.
" InsyaAllah. Lanang, kau belum menjawab pertanyaanku. Apa yang kau sedihkan Lanang?" tanya abu Hamdan. "Saya baru saja ditinggal menikah oleh kekasih saya abu Hamdan." kata Lanang pilu. "Loh biasanya seorang gadis yang dikhianati pacarnya. Kali ini bujang setampan dan segagah dirimu harus bersedih hanya karena gadis pujaannya menikah dengan pria lain? Sudah ikhlaskan saja dia. Do'akan saja agar dia bahagia. InsyaAllah dengan begitu engkau akan menjadi ikhlas. Buka pintu hatimu untuk wanita lain." nasehat abu Hamdan. "Iya abu Hamdan. Akan saya usahakan untuk ikhlas." janji Lanang pada dirinya dan abu Hamdan. "Allah tahu yang terbaik untuk hambanya. Pilihlah perempuan yang baik untuk anak-anakmu kelak. Kan masih banyak gadis atau janda. Menikahlah jangan takut miskin. Allah sudah berjanji untuk mengayakan kita dengan karunianya lewat pernikahan, " nasehat abu Hamdan. "Iya abu Hamdan. Masalahnya apa gadis dan janda tersebut mau dengan pria miskin seperti saya?" kata Lanang. "Jangan kufur nikmat! Kamu pria sehat. Punya pekerjaan tetap. Kurang apa? Kalau kamu kurang bersyukur hati-hati, azab Allah itu pedih," ujar abu Hamdan. "Ashtaghfirullah al adziem." Lanang memohon ampun kepada Allah yang telah begitu banyak memberikan nikmat kepadanya.
.jpg)
Dewa pijar yang bersinar terang tadi, semakin meredup diselimuti awan senja. Sinar lembayung sore mempercantik mega. Suara adzan dari menara - menara masjid disekeliling bukit berkumandang, menandakan waktu shalat magrib tiba. " Hamdan - Lanang. Mari kita shalat berjamaah. Aku masih punya air wudhu." ajak abu Hamdan. Hamdan menarik tangan Lanang meminta diantar ke tempat berwudhu. Setelah berwudhu abu Hamdan menjadi imam dalam shalat berjamaah mereka diatas bukit tangki tersebut.