Secantik B U N G A , Semanis K A R A M E L




Burung berkicau riang, suhu diluar 300 C. Sinar mentari bulan April di daratan ujung barat Peninsula ini begitu terang. Memberi kehangatan pada bunga-bunga yang berkembang dengan indah di teras lantai dua apartemen Bunga Faradillah, perempuan 36 tahun. Lantunan surat Al Walqiah yang ia baca setelah menyelesaikan shalat Dhuha belum juga tamat, tiba-tiba dering telpon di kediamannya mengganggu konsentrasinya. Bunga bergegas ke ruang tamu menjawab telpon,

“Ya wa’alaikum salam” jawabnya. “Apa kabar kak Bunga?” tanya suara diseberang sana yang ternyata adalah suara pak Hakim yang menelponnya.“Alhamdulillah baik. Pak Hakim dan keluarga bagaimana kabarnya? ” “Alhamdulillah baik Kak Bunga” “Ada kabar apa ya pak Hakim?” “Kak Bunga tidak bisa mendapatkan visa umrah.” “Apa alasannya pak Hakim?” “Hamla mewajibkan mahram kak. Mungkin ada keluarga kak Bunga yang akan menemani safar kakak?” “Sudah saya tanyakan ke imigrasi hal tersebut. Tidak ada jaminan kepastian bila visa kunjungan juga dapat dipergunakan untuk umrah.” “Bagaimana bila kakak sebagai tim medis saja?” “Terimakasih tawarannya. Sejujurnya saya tidak ingin kejadian tahun lalu terulang. Batal berumrah karena persoalan serupa, mahram. Tidak apa-apa saya bisa mengerti pak. Terimakasih ya pak.” “Maassalam” “Wa’alaikummussalam.”

Ada seraut kekecewaan di wajah cantik perempuan mandiri ini. Bunga kembali ke sajadahnya  yang masih tergelar. “Ya..Allah sungguh sebagai muslimah aku ingin menegakkan agamaku dengan pernikahan. Aku mohon takdir yang terbaik dari Mu ya Allah. Aku rindu untuk kerumahMu. Niat ini tercekal karena permasalahan mahram, yang aku mengerti adalah wajib hukumnya  bagi kami perempuan untuk kerumahMu dengan mahram. Demi keselamatan dan kehormatan kami dari fitnah. Kuat kan hamba ya Allah menanggung rindu untuk bertawaf dan bersai dirumahMu.” kata Bunga Faradillah dalam sujudnya sambil menangis.

Tiba-tiba bel rumah berdering. Bunga bangun dari sujudnya dan bergegas kearah pintu. Setelah mengintip dari balik tirai pintu kaca rumahnya. Ternyata Qawkab perempuan Palestina, tetangganya yang datang. “Assalammu’alaikum ya banat.” sapa Qawkab Al Habasneh yang seusia dengan Bunga Faradillah. “Wa’alaikum salam ya Umm. Keif feik?”  sahut Bunga, yang kesal dipanggil banat oleh Qawkab yang usianya sama-sama belum genap berkepala empat. Alhamdulillah tayban.  Aku buat karamel. Aku tahu kamu suka karamel. Dan kulihat mobilmu ditempat parkir. Juga sepatumu didepan rumah. Makanya kuputuskan untuk mendatangimu tanpa menelponmu dulu.” “Ha..ha..ha..Qawkab bisa saja. Ayo masuk!” “Eis muskhillah ? Ja’ lan? Leis ifki?” tanya Qawkab sambil menyeka air mata dibalik kacamata Bunga. “La..mafismuskhillah. Fein caramel? Katanya kamu buat karamel? Mana karamelnya?” tanya Bunga Faradillah sambil memperhatikan kantong plastik yang dijinjing Qawkab.

“Ini 4 telur, 2 kaleng susu full cream, jeruk mandarin, vanilla dan gula pasir.” kata Qawkab tanpa merasa bersalah sedikitpun ia memamerkan barang-barang bawaannya kepada Bunga Faradillah.

“Ya Qawkab Al Habasneh! Air liurku sudah membanjiri mulutku waktu kamu bilang karamel. Ternyata hanya bahan-bahannya saja yang kamu bawa. Ihh dasar!” kata Bunga Faradillah sambil mencubit lengan Qawkab yang empuk itu dengan gemas.
“Awwar ya bint!” jerit Qawkab kesakitan. Bunga hanya cengengesan. “Kalau aku bawa karamel yang siap dimakan, aku tidak akan lama – lama main dirumahmu. Kamarmu dingin sekali.kata Qawkab yang menggigil kedinginan. “Mesin pendinginnya hanya 200 C saja.” jawab Bunga. 

Melihat Bunga  masih mengenakan mukena dan sejadah yang masih tergelar Qawkab bertanya,  Kamu sedang shalat Dhuha Non? Maaf ya aku ganggu.” “Tidak apa-apa sudah selesai.” jawab Bunga sambil melepas mukena dan melipatnya.


Tanpa banyak basa-basi lagi Qawkab langsung menuju kedapur seperti mencari-cari sesuatu. “Kamu cari ini?” tanya Bunga Faradillah sambil memberikan panci dan pengocok telur yang sedang dicari-cari Qawkab. “Kok, kamu tahu aku cari benda itu?” tanya Qawkab. “Katanya mau buatin aku Karamel, ya alat-alatnya itu saja kan?” jawab Bunga yang diikuti anggukan Qawkab. “Inti mumtaz !” katanya lagi sambil memecahkan telur-telur itu kemudian mengocoknya dengan gula dan susu. “Kamu seperti sedang sedih. Ada apa Bunga?” tanya Qawkab sambil mengaduk-ngaduk adonan telur, susu dan gula. “Aku tidak ada apa-apa.” jawab  Bunga datar sambil membantunya merebus gula dengan sedikit air sehingga menjadi karamel. “Tidak apa-apa kok matamu sembab?” seloroh Qawkab sambil terus mengaduk-aduk adonannya diatas kompor seperti membuat agar-agar. 

“Ya aku sedang sedih. Aku tidak bisa berumrah tahun ini Qaw…” kata Bunga pelan.
“Kamu kan sudah sering pergi haji dan umrah? Sudahlah berikan kesempatan kepada yang belum. Wajib haji kan hanya sekali seumur hidup Non!” nasehat Qawkab.
“Iya, tapi aku kangen ingin kerumahNya Qaw.” kata Bunga sambil menuangkan karamel kedalam cetakan. “Iya aku mengerti kerinduanMu untuk beribadah dikedua tempat suci itu. Seperti kerinduanku dulu. Alhamdulillah akhirnya Allah memberikan hidayah kepadaku dan suamiku untuk berhaji bersama-sama.
Qawkab menuangkan adonan kuenya diatas karamel, sambil melanjutkan kata-katanya,Bunga, berbaik sangka saja dengan Allah. Mungkin nanti setelah kamu menikah. Kau dan suamimu kelak, bisa kapan saja berangkat umrah dan haji. InshaAllah. Kan sudah dekat dari perbatasan ini?. Semoga Allah segera mempertemukanmu dengan jodohmu, saudariku.” katanya menenangkan Bunga yang tengah galau. “Aamiin semoga harapan ini menjadi kenyataan.” kata bunga lirih.

Cetakan-cetakan kue karamel yang sudah diisi itu, ditata rapih didalam loyang yang direndam air. Setelah ditutup dengan kertas almunium, dipanggang dalam oven dengan suhu 1800 C“Bagaimana dengan pria yang melamarmu itu Bunga?”. Pertanyaan Qawkab mengingatkannya pada sosok pria yang meminangnya beberapa bulan lalu. Aku akan menerimanya bila siang tidak lagi berganti malam Qawkab.” “Hati-hati membenci pria, nanti berbalik cinta loh?”  Oh, ya? ” “Sebelum menikah aku dan suamiku, selalu berdebat di kampus. Kami dua kubu yang selalu berseberangan. Setelah terpisah beberapa tahun, kami berjumpa lagi dipelaminan hingga saat ini. Kenapa kamu tidak menerima pinangannya saja Bunga? Kalian kan sama-sama bekerja disini. InshaAllah cita-citamu untuk berumrah, berhaji atau beribadah sebagai suami dan isteri bisa terlaksana Non. Menikah itu membawa berkah lo.” nasehat Qawkab.

“Kue karamelnya sudah matang tuh. Yuk kita keluarkan dari oven.” kata Bunga mengalihkan perhatian. 

Bunga Faradillah sepertinya enggan menjawab pertanyaan Qawkab. Kalau sudah seperti itu Qawkab tidak lagi banyak bertanya, karena dia yakin suatu hari nanti sahabatnya ini akan bercerita juga kepadanya. Bunga semoga hidupmu indah seindah bunga, dan manis semanis karamel-karamel ini.” kata Qawkab sambil mencicipi satu buah kue karamel dan memasukkan karamel-karamel yang lain yang sudah mendingin tersebut kedalam kulkas. Shukran Qawkab! La, ba'den, khali bared !” kata Bunga yang lebih menyukai karamel yang sudah dingin. “Terimakasih aku harap juga demikian. Semoga Allah segera mengaruniakan keturunan dipernikahan kalian yang sudah lima belas tahun ini. Dan melanggengkan pernikahan kalian saudariku.” bisik Bunga ditelinga Qawkab, wanita ini menangis. “Aku tengah mengandung anak pertama kami Bunga. Menurut dokter Gita Singh, hasil USG janin kami kembar berkelamin laki-laki dan perempuan.” bisik Qawkab dengan penuh bahagia. Bunga menatap Qawkab memastikan pendengarannya. Qawkab mengangguk penuh kebahagiaan. “Alhamdulillah...semoga menjadi anak yang soleh dan soleha.” Keduanya saling berpelukan bahagia dengan segala karunia Allah.

Ghuiefat 1/4/13

HTML Guestbook is loading comments...

Blog Archive

Koleksi Kisah Fiksi Karya ROSE