Mata Batin



Malam itu selesai melaksanakan akad nikah di Masjid Hidayatullah, mobil pasangan pengantin Maritza Ibrahim dan Mirza Hasanuddin menuju ke sebuah resort di kawasan wisata gunung Salak Endah, Bogor. Hujan yang turun deras terus-menerus sejak kemarin membuat jalanan menuju Resort licin dan rawan kecelakaan lalu lintas. Tiba-tiba longsoran tanah dari puncak gunung menimbuni mobil pengantin yang tengah melaju  tersebut.

Supir yang mengendarai mobil pengantin tidak mampu mengendalikan mobil dari longsoran tanah dan reruntuhan pohon tumbang yang menimpa kendaraan yang melaju dijalan raya itu secara tiba-tiba. Mobil pengantin terjerumus ke jurang membentur pepohonan dan bebatuan yang ada dilereng gunung Salak.

Beruntung mobil pengiring pengantin yang ditumpangi orangtua dan kerabat kedua mempelai selamat dari longsoran tanah. Tidak berapa lama tim regu penyelamat sudah berada di tempat kejadian. Menurut petugas penyelamat, supir mobil pengantin tersebut meninggal ditempat. Kedua mempelai dalam keadaan luka parah. Masih lengkap dengan pakaian pengantin yang penuh darah, mereka di larikan ke rumah sakit. Dengan siap siaga petugas unit gawat darurat rumah sakit Gunung Salak melayani korban kecelakaan lalu lintas.

Maritza hanya mengalami luka-luka ringan, ia tidak mengalami patah tulang.“Kang….akang..” kata Maritza dengan lirih. “Zaza kamu sudah sadar nak?” bisik ibunya. Maritza hanya diam dan bingung, “ Umi? ” “ Ya sayang” “Zaza dimana mi?” “Di rumah sakit Gunung Salak nak” “Kang Mirza dimana mi?” “ Di ruangan lain sayang.” “Mii....Zaza ingin bertemu dengan kang Mirza mi. Firasat Zaza tidak enak mi.” “Kamu istirahat saja dulu sayang.” “Ada apa Mi? Firasat Zaza tidak enak.”

Belum sempat uminya menjawab, tim medis memasuki kamar Maritza dirawat. Dokter yang merawatnya mengijinkan Maritza menemui suaminya setelah keadaan Maritza benar-benar pulih. Sebelum menemui suaminya. Tim medis menyarankan agar Maritza menemui Dr. Freda, ahli mata dirumah sakit tersebut.

Esok harinya diantar oleh perawat dan ibunya. Maritza yang duduk diatas kursi roda, didorong keruangan kerja Dr. Freda. Diruangan kerja ahli spesialis mata Maritza (M) mendiskusikan kondisi kesehatan mata suaminya dengan Dr. Freda (Dr)

Dr: “Bu Maritza, dari hasil Magnetic Resonance Imaging otak pada suami ibu, ternyata saraf - saraf optikus yang mencabangi kedua mata pak Mirza Hasanuddin mengalami kerusakan fatal.” 
M :  “Maksud dokter, suami saya buta?”
Dr:  “Seperti yang ibu katakan. Ya, kedua mata suami ibu tidak bisa melihat.”
M: “Dok, apa tidak ada cara lain untuk mengembalikan penglihatannya?”
Dr: “Belum ada metode yang tepat untuk menyembuhkan kerusakan pada saraf optikus suami bu.”
M:   “Belum ada, bukan berarti tidak bisa disembuhkan kan dok?”
Dr: “Sebagai orang yang beriman, kita harus percaya dengan keajaiban kuasa Allah bu. Bila Allah berkehendak untuk menyembuhkan pak Mirza, tidak ada yang tidak mungkin bu.”
M:   “Bagaimana dengan pencangkokan mata Dok?”
Dr: “Kalau saja yang rusak hanya pada bagian retina mata saja, kemungkinan bisa diselamatkan dengan cangkok mata. Akan tetapi karena pecahan kaca mobil yang menusuk kedua mata suami ibu cukup dalam. Tidak hanya melukai kedua selaput mata, juga merusak saraf-saraf kecil retina. Saraf yang berfungsi untuk merasakan sinar dan mengirimkannya ke gelombang ke saraf optikus diantara kedua bola mata pak Mirza tidak bisa menyampaikannya ke otak. Inilah yang mengakibatkan kebutaan pada kedua mata pak Mirza.”
M: “Mengapa bisa terjadi secara mendadak Dok? Suami saya bahkan bukan seorang pemakai kaca mata dan tidak pernah ada keluhan penglihatannya sebelumnya.”
Dr: “Ibu…ini terjadi akibat benturan keras pada kepala suami ibu sewaktu mobil yang ibu tumpangi terjerumus kedalam jurang dan berbenturan dengan pepohonan dan bebatuan di lereng gunung Salak. Juga pecahan kaca mobil yang tajam dan cukup dalam tadi, sudah menciderai kedua mata suami ibu.”
M:  “Lalu bagaimana keadaan suami saya bu Dokter?”
Dr: “Alhamdulillah tidak ada keluhan lain selain kerusakan pada kedua matanya saja.”

Maritza hanya menangis pada ibunya yang sedari tadi duduk dikursi disamping kursi roda Maritza. “Umi, kang Mirza...” katanya sambil terisak menangis. Dengan penuh kasih sayang ibunya memeluk Maritza. Karena Dr. Freda menerima panggilan ke kamar operasi. Dr.Freda permisi kepada Maritza dan ibunya. 

Dikamar 402 Melati, ayah Maritza sudah menunggu mereka. “Abi….” “Yang tabah dan ikhlas nak. Abi sudah tahu.” kata Pak Ibrahim, ayahnya sambil menepuk-nepuk pundak Maritza.

Setelah cukup tegar, Maritza ditemani orangtuanya menemui suaminya yang tengah terlelap tidur. Menurut mertuanya yang menunggui Mirza, perawat baru saja memberikan obat penenang. Mirza sempat mengamuk, memarahi  Dr. Freda yang dianggap tidak mampu menangani pasiennya.

“Nak Maritza. Kami sebagai orang tuanya sudah ikhlas dengan keadaan Mirza.” kata ibunda Mirza. “Iya ibu. Insha Allah saya berusaha untuk tegar bu” kata Maritza pelan. 

Bapak mertuanya hanya mengangguk-angguk saja mendengar penuturan Maritza, seperti menahan kesedihan yang dalam. “Alhamdulillah, kita masih diberikan kesempatan untuk hidup dari kecelakaan maut itu. Ini sebuah keajaiban nak. Kita wajib bersyukur,” akhirnya keluar juga kata-kata dari ayah mertuanya.

Berkat kasih sayang istri, orangtua dan mertua. Mirza akhirnya menerima keadaannya sebagai penyandang tunanetra.  Mirza dinyatakan sehat wal'afiat oleh tim medis dan diperbolehkan pulang.

Pulang kerumah yang Mirza cicil bersama Maritza sebelum menikah. Maritza melayani kebutuhan suaminya dengan penuh ketulusan. “Zaza, kenapa kamu lakukan semua ini untuk ku?” tanya Mirza suatu senja. “Maksud akang?” Maritza balik bertanya. “Kenapa kamu begitu setia padaku? Menikahlah dengan pria lain Zaza. Aku ini buta, hanya merepotkan saja!” “Kang..Zaza sangat mencintai dan menyayangi akang. Zaza ingin rumah tangga ini yang pertama dan yang terakhir kang.”

“Zaza.... Aku tidak ingin kita punya anak. Kasihan anak-anak kita kelak. Mereka pasti malu memiliki ayahnya yang seorang tunanetra seperti diriku.” Kata Mirza. “Kang.. Masalah keturunan, Zaza ikhlas dengan semua kehendak Allah. Bila kita dikaruniai anak Alhamdulillah.” “Zaza! Bila kamu benar-benar mencintaiku jangan perlakukan aku seperti orang cacat yang tidak berdaya. Perlakukan aku sebagai Mirza mu yang dulu pernah kau kenal. Tolong tinggalkan aku sendiri di kamar ini! Aku bisa mandiri Za!” kata Mirza. “Baiklah kang.” jawab Maritza menuruti kehendak suaminya, untuk menghindari konflik dalam rumah tangganya. Mirza sempat memecahkan beberapa perabot rumah tangga secara tidak sengaja, Maritza berusaha untuk tetap membantu suaminya tersebut meskipun berulang kali suaminya menolak kebaikan isterinya. Karena perasaan cinta dan sayang pada Mirza yang begitu besar. Maritza tidak pernah kenal putus asa merawat Mirza.

Tiga bulan sudah pernikahan mereka lalui, tidak semalampun Mirza bersikap mesra pada Maritza. Wanita ini tidak tahan dengan sikap suaminya. Ia pun mengadu pada ibunya. Ibunya tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga anaknya. Ia mengalihkan pembicaraan. “Zaza, kemarin umi menonton tayangan Kick Andy: Kebutaan Tidak Memupus Semangat, pria yang mengalami kebutaan di usinya yang 30 tahun itu mendirikan pemancar radio karena kesukaannya mendengarkan radio loh nak.” “Akang sudah ditemani digital Qur'an kesayangannya mi.” kata Maritza.
“Bagus. Apa kamu mengijinkan kami untuk mendatangkan guru mengaji? Untuk mengajari suamimu mengaji dengan benar?” kata ibunya mengajukan penawaran untuk mendatangkan seorang ustad. 
“Umi, kang Mirza menjadi sangat sensitif dan pencemburu. Bila ada pria selain dirinya dirumah kami.” “Loh, ditemani Abi juga. Nanti umi bicarakan dengan abi dan mertuamu.” janji ibunya pada Maritza. 

Syukurlah setelah dirembukkan dalam pertemuan keluarga, Mirza Hasanuddin menyetujui usulan orangtua dan mertuanya untuk mempelajari Al Qur'an bersama-sama. 

Sejak itu setiap akhir pekan diadakan kajian Al Qur'an di ruang tamu di kediaman Mirza bersama jemaah laki-laki dewasa, tetangga disekitar rumah. Cahaya Al Qur'an telah menerangi dunianya yang gelap. Pengajian yang mempererat tali silaturrahmi antar tetangga itu, tidak hanya terbatas pada pengkajian pembacaan Al Qur'an yang baik dan benar. Juga diselingi pembahasan tentang kewajiban suami dan isteri. Ustad Hasanuddin menyampaikan sebuah ayat 228, surat Al Baqarah ayat 228, “ Para isteri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.” 

Mirza dan jemaah pria lainnya mendengarkan siraman rohani yang disampaikan oleh ustad Hasanuddin yang tidak tidak lain adalah ayah kandung Mirza Hasanuddin. Tidak hanya berdasarkan kitab suci dalam penyampaian tausiahnya, ustad Hasanuddin juga mengambil referensi Hadis Abu Darda yang diriwayatkan oleh Bukhari, “Sesungguhnya engkau memiliki kewajiban kepada Rabbmu. Engkau juga memiliki kewajiban terhadap dirimu sendiri dan engkaupun memiliki kewajiban kepada keluargamu. Maka berlaku adillah untuk kewajiban-kewajiban tadi... Sidang jemaah pengajian pekan sore yang dimuliakan oleh Allah, menurut Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, suami itu wajib menyetubuhi istrinya sesuai dengan kemampuan suami dan kecukupan istri.” 

Tausiah yang sudah disampaikan ustad Hasanuddin secara tidak langsung seperti lentera yang menerangi persepsi gelapnya terhadap ketakutannya sebagai ayah yang buta akan ditolak oleh anak-anaknya kelak. Mirza menyadari kekhilafannya dengan tidak memberikan nafkah batin pada isterinya. Ia pun mulai merubah sikapnya dengan memperlakukan isterinya sebagai mana mestinya seorang suami.

Perlahan dan pasti kepercayaan diri Mirza semakin pulih. Pemikiran Mirza sangat dibutuhkan oleh perusahaan mertuanya. “Za, besok akang mulai berkantor lagi.”  “Apa? Akang sudah siap untuk bekerja dikantor lagi?”  “Yah, tadi akang bicara panjang lebar dengan Abi. Beliau memerlukan bantuan pemikiran akang untuk mengembangkan proyek perumahan yang tengah digarap” “Alhamdulillah. Semoga berkah ya Kang?”. “Insha Allah demi masa depan kita sayang.”

Pengajian akhir pekan yang diadakan dirumahnya memberikan dampak positif pada Mirza. Bukan hanya perilakunya yang bertambah baik terhadap pendamping hidupnya saja. Kepercayaan diri Mirza tumbuh kembali, yang berpengaruh positif pada perkembangan karir Mirza. Sebagai arsitek Mirza memang sudah tidak mungkin menggambar desain rumah, dunia yang telah membuatnya mapan. Kebutaan bukan lagi penghalang. Pengalaman dan pemikirannya di bidang property sangat dibutuhkan dalam pengembangan usaha milik pak Ibrahim, mertuanya. 

Beberapa bulan kemudian Maritza mengandung. Pasangan ini sangat bahagia menanti kehadiran putera pertama mereka. Tepat Sembilan sepuluh hari, Maritza melahirkan bayi laki-laki yang normal dan sehat. Bayi itu diberi nama Fayyad Ghaisan yang bermakna lelaki mulia yang gagah. Maritza yang belum pernah memiliki bayi benar-benar kelelahan. Dia sempat putus asa ketika kelelahan mengurusi Ghaisan. 

Sementara Mirza semakin sibuk dengan urusan kantornya sehingga kurang memperhatikan Maritza. “Kang Mirza, bagaimana kalau aku tutup saja mataku seperti Drupadi isteri Kuntadewa biar kita sama-sama tidak melihat? Biar perhatian Abi tidak hanya pada akang tapi juga aku. Ibu dari cucu abi.” kata Maritza yang cemburu pada perhatian ayahnya; Pak Ibrahim yang semakin mengandalkan dan memuji kemampuan menantunya, Mirza. “Yayang Zaza…ini bukan cerita Mahabrata sayang, pakai tutup mata segala.” gurau Mirza. “Kalau mamah Zaza tutup mata. Siapa yang akan melihat ketampanan putera kita sayang? Katanya anak kita setampan dan gagah seperti ayahnya. Dia tidak buta kan? Semoga anak kita tidak malu punya ayah buta ya mamah Zaza?” kata suaminya menghibur Maritza. “Kang Mirza. Insha Allah anak kita anak yang soleh. Dia akan bangga memiliki orang tua seperti kita” Kata Maritza meyakinkan suaminya. “Kok masih panggil akang?” “Iya ayah Mirza.” “Mamah Zaza. Ajari aku mengganti popok bayiku,” pinta Mirza. Rupanya bayi yang ada dalam gendongan Mirza membasahi kemeja Mirza, yang baru saja pulang dari kantor. Dengan penuh kesabaran Maritza membimbing suaminya mengganti popok bayi mereka. Suami isteri ini saling membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. 

Sejak kehadiran Fayyad Ghaisan, buah hatinya ini menambah kesakinahan rumah tangga Maritza dan Mirza. Mengasuh amanah yang Allah karuniakan dengan pengawasan mata  Maritza dan mata batin Mirza. Kasih sayang, tanggung jawab dan rasa syukur telah menyempurnakan ketidak sempurnaan.
Bogor, 13 Maret 2013

HTML Guestbook is loading comments...

Blog Archive

Koleksi Kisah Fiksi Karya ROSE