
Malam itu, pulau Delma yang selalu berdebu
dimandikan air hujan. Pulau Delma yang terletak diujung paling barat Abu Dhabi,
Uni Arab Emirat. Hujan menjadi peristiwa yang sangat ditunggu-tunggu di negeri
Petro Dollar yang kaya akan sinar matahari ini. Malam yang dingin, semakin
menggigit. Suster Zareba dan dua orang rekannya tengah bertugas malam di unit
gawat darurat rumah sakit Delma. Mereka tengah asyik menikmati Turkish coffee dan kacang Pistachio. Tiba-tiba, sirene
ambulan memecah kesunyian. UGD yang sunyi mendadak ramai. Polisi, supir ambulan
dan beberapa pasien lainnya hadir disana.
Ternyata mereka adalah para pelaut. Kapal
mereka karam. Terbalik dihempas ombak. Beberapa
pria mengalami luka-luka. Fahrizal Lubis, sang kapten kapal, terluka cukup
parah. “Akh !…Awar ni ! Sakit sekali.”
Katanya setengah menjerit dalam bahasa Arab yang bercampur bahasa Indonesia. “Sakit
ya pak? Sabar yah sedang saya bersihkan lukanya dengan air garam. Setelah ini akan saya suntikan
rasa kebal pada luka agar tidak terlalu sakit.” Kata Zareba pada pasiennya yang
ternyata orang Indonesia tersebut. “Syukurlah semuanya selamat dari maut.” ujar Yusuf, polisi kepada dokter jaga. Luka yang di derita kapten
Fahrizal Lubis cukup lebar dan dalam hingga ia mendapat beberapa jahitan.
Dokter jaga memintanya untuk kembali ke UGD setiap harinya guna mengganti
perban.
Fahrizal Lubis, kapten kapal yang sudah
lama membujang karena kecintaannya pada laut. Membuatnya terlena bahwa ada
cahaya lain yang lebih indah dari kilauan gemintang dan rembulan yang menjadi
penunjuk arah pelayarannya. Wajah dan senyum Zareba yang selalu hadir dalam
mimpi-mimpinya. Seperti memberi arah kemana masa depannya akan dituju. Karenanya,
Fahrizal selalu menolak bila diganti perban oleh perawat lain. Perawat dan
dokter di rumah sakit umum Delma sudah mengerti kalau Fahrizal hanya menunggu
suster Zareba untuk merawat lukanya.
Musibah badai laut malam itu sepertinya menjadi
awal pertemuan Fahrizal dan Zareba yang akhirnya memutuskan untuk menikah di
Situterate, tempat kelahiran Zareba.
Sesuai janji Zareba pada Fahrizal, ia mengundurkan diri dari rumah sakit Delma setelah menikah. Zareba bertekad
untuk menjadi ibu rumah tangga saja.
Dua tahun sudah pernikahan mereka, Zareba
melahirkan seorang puteri yang diberi nama Alfa Lubis. Uang kiriman Fahrizal
diinvestasikan Zareba dengan membuka klinik P3K yang cukup ramai pasiennya,
waktunya menjadi sangat tersita di klinik yang ia kelola. Fahrizal yang pulang
setiap enam bulan sekali, membuat hubungan dengan puteri tunggalnya sebatas sms
dan sype itupun kalau sedang ada signal.
Setelah tamat SMU. Alfa Lubis meminta ijin
untuk melanjutkan kuliah di Jakarta. Alfa Lubis tumbuh menjadi remaja yang
pergaulannya cukup luas. Jauh dari kedua orangtua membuat euforia pergaulan sebebas-bebasnya.
Hingga Zareba menerima telpon dari ibu kos
Alfa untuk mendatangi kos-kosan puterinya tersebut. Betapa terkejutnya Zareba menemukan
puterinya yang terbaring lemas ditempat tidurnya. Di sebelah puterinya
berserakan beberapa obat penenang. Syukurlah, ia mampu menolong puterinya dari
cengkeraman maut. “Mah, maafkan Alfa mah.” kata puterinya. Tanpa sengaja Zareba
menemukan surat dokter yang menyatakan puterinya hamil. Surat itu tergeletak dibawah
bantal puterinya.
Zareba berusaha menahan tangis dan memeluk
puterinya rapat-rapat. Emosinya berkecamuk. Marah karena dia tidak bisa
mencegahnya. Menyesal mengapa dirinya tidak memberikan ijin anaknya untuk
menikah saja dulu. Ketika anaknya pulang kerumah diantar seorang pria yang
berniat untuk melamar puterinya. Kecewa atas perilaku anaknya. Dan juga sayang.
Sebagai ibu, Zareba ingin menjadi pelindung bagi puteri dan calon cucunya dalam
kondisi seperti ini. Ia berusaha setenang mungkin, untuk menerima dan memaafkan
kesalahan besar puterinya.
“ Sudahlah sayang. Janin ini tidak bersalah. Jangan
lakukan kesalahan yang lebih parah nak. Peliharalah janin ini. Mamah sayang
kalian.” kata Zareba menenangkan puterinya. “Terimakasih Mah. Maafkan Alfa.
Alfa janji untuk jadi ibu yang baik bagi janin ini. Alfa bangga terhadap Mamah.”
katanya memuji kebesaran jiwa Zareba dalam menghadapi masalah yang menimpa
rumah tangganya.
Sudah tiga hari Fahrizal Lubis dirumah, ia ingin bertemu dengan puterinya Alfa Lubis. Untuk sementara waktu Zareba memindahkan Alfa dari kos-kosannya kerumah neneknya. Sebelum pertemuan suami dan anaknya terjadi, dengan hati-hati Zareba menyampaikan kehamilan Afa Lubis pada Fahrizal Lubis. Apa yang dikahwatirkan Zareba terjadi. Pertengkaran tidak dapat dihindari. Fahrizal menyalahkan Zareba yang tidak mampu menjadi ibu yang baik.
“Aku tidak sudi menjadi kakek dari cucu
haram !” gertaknya.
“Bagaimanapun Alfa anak kita, Yah. Jangan katakan
cucu haram. Alfa sudah mengakui kesalahannya, Yah. Bijaksanalah sedikit.” Pinta Zareba
“Tapi ini Zina mah. Dosa besar !” kata
Fahrizal penuh murka
“Lalu menggugurkan janin dikandungan Alfa akan menghapuskan dosa
zina? Tidak kan Yah?”
“Punya anak satu saja kamu tidak becus
mendidiknya Mah!”
“Yah, Alfa sudah dewasa. Bukankah kita
yang mengijinkannya untuk kos dan kuliah di Jakarta?”
“Kamu kan yang dirumah seharusnya lebih
mampu menjaga dia!”
“Aku akui, aku salah yah. Waktuku tersita
diklinik.”
“Untuk apa? Kurang cukup uang kirimanku?.
Untuk eksistensimu? Untuk egomu? Kau sudah melalaikan tugas utamamu sebagai ibu
Zareba!”
“Ya, yah saya akui saya salah. Maafkan saya yah.” Kata Zareba dengan rendah hati sambil memeluk suaminya.
Akhirnya Fahrizal menyadari, tidak
seharusnya dia hanya menyalahkan Zareba. Dirinya adalah ayah yang seharusnya
ada diantara mereka ketika isteri dan anaknya membutuhkannya sebagai pemimpin
keluarga. Dengan penuh kesadaran Fahrizal Lubis menerima kenyataan pahit ini.
Setelah keduanya saling menyadari kesalahan masing-masing dan menerima dengan ikhlas. Zareba mempertemukan puterinya dengan ayahnya. Sungguh, pertemuan yang mengharukan. “Yah, maafkan Alfa” kata Alfa Lubis sambil bersimpuh dikaki ayahnya. “Sudahlah nak. Semuanya sudah terjadi. Jadilah ibu yang baik. Jangan kau ulangi lagi.” Katanya Fahrizal dengan kedua mata yang memerah menahan amarah dan kesal pada puteri tunggalnya.
“Nak. Aku tidak sudi menerima laki-laki yang tidak bertanggung jawab itu menjadi suamimu. Dia bukan calon ayah yang baik! Yakinlah nak. Suatu saat nanti
seorang pria yang betul-betul mencintaimu pasti datang memperisterimu untuk
menyempurnakan ke tidak sempurnaan mu, nak. Tegarlah sayang. Seperti batu karang
di laut yang tetap hidup meski berkali dihempas ombak.” kata-kata Fahrizal Lubis
dibandara Soekarno Hatta, sebelum kembali bertugas ke lautan Peninsula.
Syukurlah Alfa melahirkan dengan selamat.
Sesuai amanat Fahrizal Lubis untuk memberi nama Betha Bahtiar bila cucunya yang lahir
berkelamin laki-laki. Kehadiran Betha Bahtiar membuat Alfa Lubis bertambah
semangat untuk segera menyelesaikan kuliahnya yang sempat tertunda beberapa
semester. Alhamdulillah dengan bekal pendidikan yang ditempuhnya
Alfa membantu ibunya di klinik.
Hingga bertemu jodoh dengan rekan kerja ibunya, dr. Jaka Kawula. Tidak ada yang ditutupi, semuanya berjalan seperti kehendak-Nya mengalir begitu saja. Dokter muda yang menyayangi Betha Bahtiar seperti puteranya sendiri, meminang Alfa. “ Alfa binti Lubis. Betha Bahtiar bukanlah bayang-bayang yang selalu mengikuti masa lalumu. Betha adalah mentari kita yang akan menyinari hari-hari indah kita. Bagiku ALFABETHA adalah seperti rembulan dan matahari yang setia menemani malam dan siangku. Aku mencintai dan menyayangi kalian.” kata dr. Jaka Kawula setelah akad nikah dihadapan orangtua dan kerabat keduanya. Betha Bahtiar yang tidak pernah memilih dari rahim siapa dilahirkan, menjadi saksi pernikahan orangtuanya.
Delma, February 2004